Jumat, 22 Januari 2010

matahari

MATAHARI tidak pernah bertanya kepadamu kapan ia terbit dan tenggelam. Tiba-tiba sekarang sudah 2010, padahal sorak-sorai kampanye Pemilu 2009 rasanya masih terngiang-ngiang di gendang telinga. Bahkan, mereka yang sekarang berusia sekitar 60-an tahun, bisa membayangkan gelora demonstrasi anak-anak muda pada 1966 mengganyang Orde Lama.

Kala itu, saya masih anak SMA. Saya ingat banyak yang dilanda euforia bahwa perjuangan telah selesai. Sampai-sampai RRI saat itu kerap memperdengarkan lagu "Sorak-sorak Bergembira" pertanda perjuangan telah dimenangkan. Tapi seiring waktu berjalan di saat uban mulai tumbuh satu-satu di kepala, saya merasa kemenangan itu semu belaka.

Zaman hanya berulang. Ketika kita berhasil mengusir kolonial yang hendak kembali bercokol pada 1945-1949, sejarah menulis betapa era demokrasi parlementer berkecamuk. Politik sangat berkuasa, menjadi "panglima" sampai kemudian dikoreksi oleh Orde Baru, walau anehnya kembali diulangi Orde Baru. Apa yang ia kecam malah ia lakukan.

Di masa Orde Baru, politik menjadi mesin yang mengatur kehidupan publik, bahkan pribadi, walaupun pembangunan berkiprah di permukaan. Demokrasi dan ekonomi "kekeluargaan" tegak, tapi jika Anda tak termasuk "keluarga", ya, tersingkir dari "rumah politik dan ekonomi" Orde Baru.

Kita ingat orang-orang Petisi 50 bahkan mati hak-hak keperdataannya, seperti Ali Sadikin dan kawan-kawan. Warga Kedungombo diusir dari tanah mereka karena sebuah waduk besar akan dibangun, sementara "ganti untung" mereka belum jelas. Sinar Harapan dan Tempo pernah dibredel. Partai hanya boleh tiga, sehingga PPP bahkan lebih "Golkar" dibanding Golkar.

Memang, mahasiswa merayakan tumbangnya Orde Baru pada 1998. Tetapi, lagi-lagi kita kembali gandrung berpolitik. Gus Dur disokong menjadi presiden, kemudian dijatuhkan. Megawati naik, lalu Yudhoyono, tetapi keranjingan berpolitik selalu mencemaskan.

Untuk siapa sebenarnya mereka berpolitik? Untuk rakyat, yang katanya, dibela atau semata demi kekuasaan, baik bagi yang belum dan sudah berkuasa?

Anehnya, kaum miskin dan pengangguran tetap mencemaskan sejak era BJ Habibie hingga Yudhoyono. Program "beras miskin" dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) entah kapan berakhir, dengan pengertian orang-orang lemah itu telah berhasil naik kelas alias diberdayakan. Melestarikan mereka bukannya kebaikbudian, tetapi kegagalan.

Sebaliknya demokrasi semakin gagah. Sistem multipartai lebih demokratis, seperti halnya sistem pemilihan langsung. Anggota parlemen kita semakin vokal, bahkan kadang sesama mereka melontarkan kalimat tak senonoh seperti dipertontonkan dalam sidang Pansus Bank Century.

Padahal, demokrasi itu tatanan, dan cita-cita yang menggairahkan kehidupan, termasuk perekonomian. Bukan cuma sekadar membuka keran politik selebar-lebarnya. Nah, itu dia: perekonomian! Pentas ini yang kurang digeluti, jika tak disebut kurang populer karena memang susah untuk menjadi headline.

Bahkan, pentas perekonomian kerap diguncang oleh kaum politik, sehingga kapan lagi bisa bekerja, seperti pernah dikeluhkan oleh Jusuf Kalla, semasih ia menjadi Wakil Presiden. Mestinya politik adalah energi yang mendorong ekonomi. Politik mengawal perekonomian agar tak menerkam rakyat, yang masih banyak bergelimang dengan kemiskinan dan tanpa pekerjaan.

Saya kira, APBN dan APBD itu politik perekonomian. Para politikus di DPR dan DPRD bersama kaum birokrat merekayasa anggaran agar dunia usaha dan masyarakat diberi ruang untuk bertumbuh. Regulasi izin satu pintu, tanpa pungli, akses ke bank oke. Pokoknya merangsang. Bukan mematikan.

Eh, belum 100 hari pemerintahan baru, muncul Perdagangan Bebas China-ASEAN. Ini juga "politik perekonomian". Perang antara free market dan ekonomi nasional. Ibaratnya, kita diserbu selagi sedang "tidur" nyenyak. Gugup dan gagap. Lintang-pukang.

Tapi perhatian politikus bagai luput dari kasus ini. Bayangkan apa yang terjadi jika ribuan produk China yang lebih bermutu, massif, bisa masuk ke Indonesia dengan bea 0%. Dipastikan sektor industri kita kalah bersaing, dan barangkali akan beralih menjadi pedagang, trader, sehingga lambat atau cepat akan terjadilah de-industrialisasi.

Apalagi jika politik terlalu akrobatik, dan bernafsu merebut kekuasaan. Dunia usaha akan cemas. Lalu, wait and see. Macet. Trauma masa silam berjangkit: era politik-politikan bangkit bagai zombie? Investor minggat. Devisa dan multiplier effect terbang. Rakyat sebal. Kemudian, menangis!

Mestinya, politik itu api dan ekonomi itu air. Maka tanaklah air dengan api sehingga terhidang kopi yang aduh nikmatnya. Jangan pertentangkan. Tapi godaan politik selalu berkilauan sehingga bisa mengakibatkan panggung ekonomi semakin muram. Bahkan, lama-lama gelap tanpa seberkas cahaya.

Sebaliknya, jika politik menjadi air dan ekonomi adalah api, maka si "api" akan padam jika disiram dengan air. Ongkosnya akan sangat mahal. Jika para menteri dan dirut BUMN asyik dipanggil ke DPR, lalu dicecar dengan berbagai soal yang sebetulnya akan dipertanggung-jawabkan pada waktunya, maka waktu akan habis hanya untuk "berbalas pantun" di parlemen.

Gejala heavy polititics ini tak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Tak heran jika terbetik kabar bahwa banyak provinsi yang belum melaporkan APBD-nya ke pusat karena belum disahkan oleh DPRD. Gejala itu juga terjadi di tingkat kabupaten dan kota. Padahal, APBD kabupaten dan kota itu menyangkut kepentingan masyarakat, tetapi tersandera oleh berbagai konflik dan kepentingan politik.

Fenomena ini tampaknya yang belum menemukan formula dan porsinya sedari dulu hingga kini. Ketika kita asyik bertengkar, matahari tak pernah bertanya kapan ia hendak terbit dan tenggelam. Tahu-tahu 2010 pun lewat, dan menyusul 2011 dan 2012. Sementara bejibun masalah masyarakat belum juga tertunaikan. Oh, politik, bisakah Anda lebih ramah?

0 komentar:

Dimana ya ?

 
Powered by Blogger