Jumat, 22 Januari 2010

kepergian gusdur

"DI pintumu aku mengetuk, aku tak bisa lagi berpaling". Sebait sajak Chairil Anwar ini selalu kita ingat ketika seorang sahabat, atau tokoh, berpulang ke Rahmatullah, seperti halnya tatkala Gus Dur pergi 30 Desember senja lalu. Jasad guru bangsa, mantan Presiden RI keempat, pejuang demokrasi, budayawan dan kolumnis itu, telah meninggalkan kita. Tapi amal ibadah dan jejak karyanya masih bertapak hingga sekarang, dan niscaya harus berkesinambungan. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.

Nama Gus Dur tak bisa dilepas dari demokrasi yang diperjuangkannya di era Orde Baru, walaupun terbentur tembok besar rezim yang berkuasa. Sesungguhnya Gus Dur tak sendiri. Masih ada Arief Budiman si pendiri Golongan Putih. Termasuk Majalah Tempo yang kritis melihat pemerintahan Soeharto, serta Kelompok Petisi 50 yang dipimpin oleh Ali Sadikin. Serta sejumlah nama dan entitas yang terlalu panjang untuk dijejerkan, kendatipun jumlahnya tetap minoritas.

Selebihnya, agaknya adalah mayoritas yang bisu. Menolak dalam hati, tapi tak berani terang-terangan. Atau yang dengan sadar bersama Orde Baru memasung demokrasi.

Kebenaran dan demokrasi selalu dibentuk oleh kekuatan politik di setiap zaman. Tak heran jika ikutnya ABRI di gelanggang politik pun dianggap sebagai bagian dari demokrasi. Ironisnya, malah tanpa dipilih. Partai hanya boleh tiga, PPP, Golkar dan PDI, juga diformat zaman Orde Baru. Bahkan kedua hal yang bertentangan dengan demokrasi itu justru dirumuskan melalui UU yang disahkan oleh Ketetapan MPR RI.

Namun ketika zaman berubah, maka suara-suara demokrasi yang tadinya terkekang dan tertindih, bangkit bagai air bah. Tak satu pun yang bisa menghempang.

Api demokrasi yang menyala-nyala di balik garba dada Gus Dur pun meraih atmosfer yang luas tatkala dia mejadi Presiden RI pada 20 Oktober 1999. Lusanya, ia pun menjadikan istana negara bagai istana rakyat. Siapa saja boleh masuk, termasuk rakyat jelata yang bersandal jepit. Teman saya Kemala Atmodjo, mantan Pemred Majalah Berita Gamma, yang juga ikut Forum Demokrasi yang dipimpin oleh Gus Dur, bercerita bagaimana ia dan sastrawan Seno Gumira Adjidarma menikmati suasana istana seraya ngobrol santai tanpa protokoler birokrasi yang menyebalkan.

Gus Dur juga mencabut pemasungan kepercayaan adat, agama dan kepercayaan China pada 2000, yang dilarang di masa Soeharto sejak 1967 silam. Sejak itu, agama leluhur China dinyatakan sah sebagai agama berikut perayaannya seperti Imlek yang menjadi hari libur nasional, termasuk budaya macam barongsai dan sejenis yang kembali tampil di wajah Indonesia yang plural. Pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas juga dirasakan oleh kaum Kristiani, termasuk Budha dan Hindu.

Sejak era reformasi 1998, suara-suara yang terkekang sesungguhnya telah terdengar membahana. Menyahuti suara zaman itu, tiada jalan lain, pemerintahan BJ Habibie mengeluarkan UU Pers yang anti pembredelan dan sensor. Kewajiban SIUPP dicabut. Banyak sekali narapidana politik yang dibebaskan. Kebebasan mendirikan partai politik dibuka lebar-lebar, sehingga Indonesia mengenal sistem multipartai, seperti mengikuti maklumat Wapres Hatta di masa lalu.

Sesungguhnya, proses demokratisasi yang diawali oleh BJ Habibie telah diteruskan oleh Gus Dur, bahkan hingga ke era Presiden Megawati dan Presiden Yudhoyono. Jangan dilupakan bahwa sistem pemilihan langsung dan otonomi daerah disahkan di era Megawati dan Ketua MPR Amien Rais.

Benang merah ini, saya kira yang tak boleh menjadi garis yang terputus-putus. Misalnya, kadang nyambung kadang tidak. Tapi harus sinambung, diperkuat rezim demi rezim yang kekuasaannya memang berasal dari suara-suara zaman, suara-suara rakyat, termasuk terhadap pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang diawali dengan Tap MPR di awal era reformasi.

Zaman sesungguhnya tidak pernah edan. Tetapi orang-orang dan kekuasaan-lah yang membentuknya menjadi edan, dan inilah yang harus dilawan baik oleh rakyat, partai politik, DPR, kaum intelektual, mahasiswa, LSM dan pemerintahan.

Momentum kepergian Gus Dur, saya kira harus dimaknai dengan pengertian seperti itu. Dengan demikian, spirit yang pernah ditiupkan Gus Dur tak pernah "mati angin", tetapi selalu dikawal oleh suara-suara zaman. Jika kondisi itu terciptakan, sesungguhnya Gus Dur never die. Gus Dur "tak pernah mati", tetapi selalu hidup sepanjang zaman.

Kasus-kasus seperti Prita, Upi Asmaradhana, Kho Sengseng dan sejenisnya, yang menyangkut kebebasan berekspresi yang mendukung kepentingan umum, tak lagi perlu terjadi. Tidak hanya merupakan bagian dari demokratisasi, tetapi juga merupakan keadilan universal yang tak terpaku pada hukum formal. Bukankah pada dasarnya teks-teks hukum memerlukan tafsir dari penegak hukum, istimewanya para hakim, dalam melihat adil-tidaknya sebuah perkara?

Karena itu, berbagai produk hukum yang ada, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang dianggap merepresi kebebasan berpendapat, patutlah direvisi. Termasuk RUU Rahasia Negara yang seyogyanya bisa diselaraskan dengan kehendak zaman baru, dan tak kembali ke era yang menakutkan seperti di era Orde Baru.

Meneruskan "benang merah" suara zaman itu sekaligus merupakan rekonsiliasi bangsa. Bukannya dipertentangkan sehingga seolah-olah ada dikotomi antar pemimpin yang cenderung demi kepentingan elit belaka. Rekonsiliasi adalah saling komit pada apa yang pernah menjadi jejak karya besar sejak era BJ Habibie, Gus Dur, Amien Rais, Megawati hingga Yudhoyono, dan bukan sekadar rekonsiliasi antar pribadi yang kadang, maaf, hanya basa-basi belaka.

Pemaknaan kepergian Gus Dur, saya kira, harus dilihat dari persfektif itu, yang jika terwujud maka alangkah indahnya masa depan bangsa. Lagipula masih banyak soal besar yang menghadang, misalnya membangkitkan perekonomian nasional yang pasti membutuhkan konsentrasi besar dari semua pihak. Selamat jalan Gus Dur! (*)

0 komentar:

Dimana ya ?

 
Powered by Blogger