Minggu, 10 Januari 2010

blue

Dokumen >>> cahyamars2008






Bagaimana bila masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya diberi pilihan untuk tidak bergantung lagi pada minyak bumi sebagai bahan bakar penghasil energi? Terlebih dengan isu-isu pemanasan global, dampak rumah kaca dan krisis minyak yang kian hari kian nyata dirasakan. Belum lagi semakin mengganasnya tuntutan memperoleh energi dalam jumlah besar, baik untuk keperluan konsumsi ataupun pembangunan yang juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dunia.
Sudah banyak upaya yang dilakukan ilmuwan untuk mendapatkan berbagai sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan dan tentu saja dapat diperbarui. Akan tetapi sampai sekarang, belum terbukti ada yang bisa diproduksi secara massal dan masuk akal secara ekonomis, sehingga bisa digunakan oleh khalayak luas.
Sebuah studi yang dilakukan oleh sekelompok peneliti Indonesia telah menunjukkan hasil awal yang menjanjikan bagi masyarakat dunia, terutama Indonesia yang memiliki sejumlah besar sumber energi alternatif yang bersih dan dapat diperbarui. Studi ini telah menghasilkan suatu sumber energi alternatif yang disebut Blue Energy atau Minyak Indonesia Bersatu (MIB).

Apakah Blue Energy itu ?

Istilah Blue Energy untuk menamai sumber energi baru ini dicetuskan sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menaruh harapan sangat besar pada proyek ini. Menurut SBY, istilah Blue Energy beliau gunakan untuk mengkategorikan energi yang masih memancarkan atau mengeluarkan emisi karbon. Sehingga setiap energi yang masih memanfaatkan Carbon Based with Combustion (rantai karbon dengan mesin bakar) akan masuk kategori Blue Energy.

Jadi seperti apa sebenarnya wujud dari Blue Energy ini?
Sampai saat ini memang masih banyak yang salah paham, bahwa yang dimaksud dengan Blue Energy adalah bahan bakar air. Padahal yang sesungguhnya terjadi, air hanya akan diambil unsur hidrogennya saja sebagai bahan pembuat synfuel.
“Pada prinispnya Blue Energy atau MIB adalah bahan bakar sintetik atau biasa disebut synfuel, yang dibuat dari substitusi molekul hidrogen pada rantai karbon. Proses pembuatannya pun sebenarnya mengadaptasi proses pembentukan minyak fosil di dalam bumi”,demikian ungkap Iswahyudi, CEO PT Sarana Harapan Indocorp (SHI) yang nantinya akan memproduksi, memasarkan dan mendistribusikan Blue Energy ini. “Jadi ada dua unsur, hidrogen dan karbon sebagai bahan dasar.” Seperti minyak bumi biasa.
Hidrogen dapat diperoleh diantaranya dari air daratan (deep water, sungai, danau, dan lain-lain), air laut , dan air formasi. Air formasi adalah air buangan sisa pengeboran sumur minyak, air sisa dari separator dan water injection. Termasuk di sini air limbah dari Lapindo (bukan lumpurnya). Bahan yang digunakan dalam proyek Blue Energy ini adalah air laut, dengan pertimbangan resourcesnya yang tak terbatas dan tentu saja mengambil air laut tidak akan mengganggu cadangan air. Untuk mendapatkan hidrogen dari air laut dilakukan ‘pemecahan air’ (water splitting) Air sejumlah 2000 liter ditambah antara 3-8 kg karbon dapat menghasilkan 1600 liter Blue Energy.
Sementara itu, karbon dapat diperoleh dari bermacam-macam bahan, seperti kayu atau sisa-sisa kayu, arang, batubara, hasil dari carbon capture cerobong industri-industri yang dilarutkan ke dalam air, bisa juga dari air formasi sumur-sumur minyak yang sudah ditinggalkan karena dianggap sudah tidak ekonomis. Tim Blue Energy sendiri sampai saat ini menggunakan karbon kimia yang mudah didapat dan cukup ekonomis juga“. Sebenarnya kalau mau efisien dan juga lebih ramah lingkungan, kita bisa memakai carbon capture. Tetapi alatnya masih harus impor, karena belum ada orang Indonesia yang mau bikin. Sedangkan kita ingin MIB ini sebisa mungkin benar-benar murni hasil karya putra-putra bangsa”, lanjut Iswahyudi, lulusan tercepat Teknik Geologi FT UGM angkatan 1988 itu.
Kita ingin MIB ini benar-benar murni hasil karya putra-putra bangsa






Pembentukan Minyak dan Blue Energy

Selama ini sering kita dengar bahwa proses pembentukan minyak fosil yang ada di dalam bumi memerlukan waktu jutaan tahun. Benarkah demikian? “ Coba sebut geologist mana yang pernah melihat langsung atau membuktikan secara pasti bahwa proses atau reaksi pembentukan minyak itu butuh waktu jutaan tahun”, ujar Iswahyudi menantang sembari menambahkan “lha wong, terjadinya saja sekitar 12000 feet atau 4000 m di dalam bumi”.
Reaksi pembentukan minyak terjadi di suatu tempat yang dalam bahasa geologi dikenal dengan nama kitchen. Tempat di kedalaman bumi itu memiliki kondisi yang memungkinkan terjadinya reaksi antara karbon dan hidrogen, yang merupakan dasar pembentukan minyak. Setelah reaksi dan terbentuk di kitchen, minyak masih akan mengalami migrasi menuju di suatu tempat yang disebut trapping mechanism, di mana minyak biasa ditambang.
Lebih lanjut Iswahyudi menjelaskan “Menurut saya, yang jutaan tahun itu bukan proses terjadinya minyak, tetapi proses tertimbunnya ‘calon minyak fosil’ ribuan meter ke dalam bumi supaya mendapatkan kondisi geologi yang tepat di kitchen, dan secara fisika tercapai suhu, tekanan dan kondisi-kondisi fisis tertentu agar dapat terjadi reaksi antara hidrogen dan karbon”.
Dia menyebutkan Candi Borobudur dan Kerajaan Kutai sebagai pengandaian. Sekarang Borobudur dan Kutai sudah berusia sekitar 2000 tahun atau bahkan lebih, dan bagian yang sudah mulai tertimbun hanyalah sekitar satu meter saja. Maka waktu yang dibutuhkan untuk bisa tertimbun sedalam 4000 m bisa diperkirakan mencapai jutaan tahun.
“Dan buktinya, kita sudah mencoba dan berhasil mereaksikan hidrogen dan karbon dalam waktu yang singkat”, katanya ringan.
Memang di dunia sudah banyak yang berhasil menciptakan synfuel dengan bahan dasar air. Akan tetapi hingga sekarang, tidak ada yang diproduksi secara massal dan dapat digunakan secara umum oleh masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh cost produksinya yang sangat mahal, dan tentu saja isu efisiensi antara energi yang diperlukan pada proses pembuatan synfuel dan energi yang dapat dihasilkan oleh synfuel itu sendiri.
Pemisahan hidrogen dari air (water splitting) menjadi isu tersendiri, mengingat selama ini H2O dikenal sebagai senyawa yang stabil. “Orang bilang elektrolisis mahal, tapi dengan cara kita, itu jadi murah”, tutur Iswahyudi.
Problematika yang juga selama ini masih menjadi puzzle bagi para peneliti adalah, bahwa reaksi yang terjadi dalam pembentukan synfuel ini adalah reaksi endoterm. Dengan kata lain, reaksi ini memerlukan energi agar dapat terlaksana. Pada proses pembentukan minyak fosil di alam, energi ini bisa datang dari panas bumi. Tentu saja energi ini harus murah. Karena akan menjadi sama saja jika yang digunakan masih dari sumber-sumber konvensional yang kita kenal sekarang.
“Mahal dan murah itu masalah efisiensi. Energi yang biasa kita pakai, dalam hal ini sebagai contoh yang paling mudah dan dekat adalah listrik, sangat tidak efisien. Suatu pembangkit membutuhkan 8 step dari mulai pembakaran sampai akhirnya terjadi loncatan elektron dari coil. Bayangkan jika setiap step rata-rata memiliki efisiensi 0,6. Maka efisiensi total yang akan diperoleh adalah (6 x 10-1)8. Kecil sekali bukan?” Masih menurutnya lagi “Tentu saja kita tidak akan menggunakan model energi yang seperti itu. Kalau saya bisa memotong 8 step itu menjadi 1 step saja, berarti saya mendapatkan efisiensi yang kira-kira 107 kali lebih besar bukan? Jika bicara tentang listrik, sebenarnya itu kan loncatan elektron. Dan jika kita bisa menangkap loncatan itu, ya kita punya listrik.
Mudahnya, kita memiliki teknologi untuk menangkap elektron-elektron yang meloncat dari material”. Pada kesempatan lain, dia menambahkan, dengan metode yang lebih efisien dia berani menghargai listrik Rp.75,00 saja per kwh, dan itupun dia sudah bisa tersenyum karena dengan harga itu dia sudah untung
Mahal dan murah itu masalah efisiensi. Energi yang biasa kita pakai, dalam hal ini sebagai contoh yang paling mudah dan dekat adalah listrik, sangat tidak efisien
Energi yang diperlukan untuk terlaksananya reaksi ini memang penting. Akan tetapi ada satu hal yang menurut Iswahyudi tak kalah pentingnya, yaitu bagaimana menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya reaksi tersebut pada energi tertentu atau dengan kata lain merekonstruksi keadaan di kitchen. Termasuk dengan menambahkan katalisator yang diperlukan. “ Jangan khawatir, katalisatornya pun banyak kog, dibuang-buang, cari di pasar juga banyak itu”, kata Iswahyudi sambil bercanda.
Saat ini produk yang sudah dihasilkan oleh Tim Blue Energy ini adalah kerosene (K-99) yang setara dengan minyak tanah, diesel (D-99, D-99 bio, dan D-99 Plus dengan Cetane di atas 55) yang setara dengan solar, gasoline (G-99, G-99 bio, dan G-99 Plus dengan Oktan 98) yang setara dengan bensin, dan juga heating oil atau minyak bakar (H-99).
Sebagai catatan, semua proses yang dilakukan, dari bagaimana mendapatkan energi sampai reaksi-reaksi yang terjadi, secara teori sudah ada di ilmu fisika dan kimia dasar.

Performa Blue Energy

Pada Minggu sore tanggal 25 November 2007 yang lalu, rombongan kendaraan berbahan bakar Blue Energy berangkat dari kediaman SBY di Puri Cikeas Indah. Tujuan dari rombongan ini adalah Bali, di mana mereka akan mengikuti eksebisi clean air, clean fuel and clean vehicle berkaitan dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Climate Change pada tanggal 3-14 Desember 2007. “Keikutsertaan kita adalah untuk menunjukkan bahwa anak bangsa Indonesia mampu mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi, khususnya mengenai bahan bakar”, kata Heru Lelono, staf ahli presiden, yang menjadi ketua tim pada waktu itu.
Jenis mobil yang masuk dalam tim antara lain dua Ford Ranger 2500 cc, satu Isuzu Panther 2500 cc diesel, satu Mazda Familia 1800 cc serta satu Bus Mitsubhisi 4000 cc“. Seluruh mobil itu bisa sampai di Denpasar, dan langsung dicek di bengkel yang dilengkapi dengan alat uji emisi dari PBB. Hasilnya, seluruh mobil dalam kondisi yang sangat baik”, jelas Heru. Pada kesempatan yang lain, Tim Warta Teknik juga berkesempatan menjajal langsung Mazda Familia yang menggunakan bahan bakar G99, dan tidak merasakan adanya perbedaan performa dengan kendaraan yang memakai bahan bakar bensin biasa. Kendaraan ini sudah memakai Blue Energy sejauh kira-kira 4000 km, dan tidak menemui masalah dengannya.
Tim ekspedisi Blue Energy juga pernah mencoba menggunakan D99 pada mesin Diesel di Dataran Tinggi Dieng yang terkenal sangat dingin dan bisa membekukan solar. Semalaman di sana paginya ternyata langsung bisa di start.
Berikut ini hasil tes yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen yang telah mendapat pengakuan internasional seperti SGS, Corelab, dan Envirolab.
Tabel di atas bukan hasil tes final. Riset masih terus berjalan untuk penyempurnaan. Saat berita ini ditulis, baru saja ditemukan metode untuk memisahkan sulfur dari diesel. Dan D-99 generasi ke 14 dari riset ini benar-benar jernih.[bma]

0 komentar:

Dimana ya ?

 
Powered by Blogger